Senin, 14 Mei 2012

"Cerita Tentang Dia"

Pagi itu seseorang datang ke rumahku.
„Assalamu’alaykum. putra, ayo ikut gue ke toko buku“
„Hah! Lo nggak bilang-bilang gue dulu! Gue kan belum mandi!“
„Udah nggak usah mandi deh“
„Enak aja. Nanti siang kan shalat Jumat!“
„Cuci muka aja“
„Kan kemarin gue bilang, kalau hari ini jadi pergi, satu jam sebelumnya lo harus telepon gue biar gue bisa siap-siap!“
„Apaan, lo nggak bilang begitu!“
„loch! Jelas-jelas kemarin gue bilang! Lo nya aja yang...?“


Adu mulut, rutinitas kami setiap saat bertemu. Dia baru satu minggu di jambi, tapi kami sudah yang kesekian kali beradu mulut. Ini tatap muka yang kedua, yang terakhir di terminal, saat dia mengantar kepulanganku satu setengah bulan yang lalu. Dia masih sama. Suka berkomentar dan suka nyeloteh yang lucu-lucu.


Contoh komentar-komentarnya:
Bertempat di toko buku, sebuah rak buku bacaan novel remaja dipenuhi oleh anak-anak berseragam SMA. Rata-rata anak cewek. Pakai rok panjang abu-abu, baju lengan panjang putih yang digulung sampai siku, dan kerudung yang sudah menjuntai di bahu. Hari itu hari Jumat, seluruh sekolah di bungo mewajibkan siswa-siswinya mengenakan busana sekolah muslim-muslimah. Jumlah mereka banyak. Berjejer memblokir jalanan di depan rak buku sambil asik sendiri membolak-balik tiap lembar novel yang ada di tangannya. Mereka nggak memperdulikan orang lain yang ingin mencari atau mengambil buku yang ada di rak di depan mereka. Kalau kita bilang permisi, pasti mereka menggeser posisi dengan wajah yang manyun atau decakan kesal. Serasa toko buku milik mereka deh. Jadi serba salah.


Aku sudah tahu, dia sebal banget melihat kelakuan anak-anak SMA itu. 
„Tahu nggak, put. Dari tadi bau apa yang gue cium?“
„Apa?“
„Bau cologne-nya anak-anak SMA“
Tahukan bau cologne anak-anak SMA? Ya gitu deh, wangi-wangi segar tapi telah terkontaminasi dengan aroma keringat tubuh.


***


„Aduh, put. loo itu y!“ kata dia pas di atas motor. Sekarang giliran motor aku yang terkena komentar.
Padahal, motorku biasa aja kok. Ini motor apa grobak pasir kok kotor bangat. Warnanya hitam, tapi penuh dgan tanah sperti orang kekebun aj. Kata dia.
„Semenjak lo di jambi, put, gaya lo berubah banget deh. Gue rasa orang-orang Berlin bakalan syok ngeliat gaya lo yang baru!“ komentarnya lagi.
Padahal nggak banyak perubahan kok. Cuma rambut yang sudah tidak lagi cepak botak, melainkan agak panjang dan dibelah pinggir, dan kadang-kadang suka memakai gelang karet warna-warni di lengan yang sekarang lagi in di kota ini.
„Elo tahu pria metroseksual, put? Yang kayak di postingannya Mbak Amel?“ tanyanya. „Ya kayak lo gitu tuh“ lanjutnya.
„Enak aja!“ balasku. 


***


Ketika masih di toko buku, kami mencari sebuah buku karangan penulis favorit kami, Helvy Tiana Rosa. Sebut saja buku itu berjudul ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’. Kami mencari di komputer pencari buku, dan di situ tertulis bahwa buku itu tinggal satu-satunya. Lantas kami bertanya pada seorang petugas mengenai letak dan keberadaan buku itu. Tapi rupanya si petugas tidak tahu di mana buku itu berada dan bertanya pada seorang rekannya yang berjarak hanya dua meter dari dirinya dengan suara yang lantang dan keras.
„Eh, buku ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’ di mana, ya??“
Kontan beberapa kelompok pengunjung yang ada di situ – yang kami yakini tahu atau pernah membaca buku itu – segera menoleh ke arah kami sambil tersenyum-senyum. Kami pura-pura nggak tahu dan pergi menjauhi si petugas.


„Aduh! Teriak dia, Jo! Nggak pake toa sekalian, Pak? Biar segedung ini dengar semua?“ komentarnya. 


***


Yang terakhir ketika kami di warnet.
„put, baca deh testimonial gue dari Farah (20, Mahasiswi UMB, bukan nama sebenarnya)“.
Aku membacanya lalu langsung cekikikan sendiri karena testimonialnya lucu. Ada kata mahligai-lah, suamiku-lah, meninggalkanku-lah, pangeranku-lah, pokoknya kata-kata seperti itu deh.
„Mana sebelumnya baru aja si Monik (20, bukan nama sebenarnya) ngasih testimonial yang isinya nggak jauh beda kayak gini. Bisa disangka apa gue? Disangka cowok buaya gue sama orang-orang“.
Tawaku langsung meledak-ledak.


***


Itulah dia. Sabtu kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Semestinya sih Jumat kemarin pertemuan terakhirnya, soalnya hari sabtu pagi dia bilang akan pergi ke jakarta. Tapi ternyata dia membatalkan kepergiannya ke sana. Aku yakin, itu pasti karena Morning Sick. Itu lho, sakit yang hanya datang di pagi hari karena rasa kantuk yang menstimulasi saraf-saraf di tubuh dan mendorong kerja kelenjar untuk tidak melakukan aktivitas lain saat itu selain tidur.


Bagaimanapun, kami akan bertemu lagi lebaran nanti. 
„Maaf lahir batin ya“ ucapku sambil mengulurkan tangan dari luar kaca jendela saat ia mengantarku pulang sampai di depan rumah.
„Sama-sama, put“ balasnya sambil tersenyum. „Sukses ya“ lanjutnya. Setelah dia berkata, ia tidak segera pergi. Ia masih termenung di dalam mobilnya.
„Kenapa?“tanyaku. Aku tahu, sisi melankolisnya sedang keluar membuncah saat itu.
„Gue takut, put. Nanti di jakarta gue kesepian nggak ya?“
„Nggak lah! Di sana kan banyak mahasiswa/i, walau nggak sebanyak di sini, kataku. Baik-baik lagi! Nggak bakal kesepian deh“ jawabku. „Nanti lebaran main ke jakarta ya!“
„Insya Allah, ya. Kalau ada duit dan waktu, gue bakal main ke Berlin“ sahutnya. Namun ia masih tetap termenung di dalam mobil itu.
„Kenapa lagi? Mestinya kan lo seneng nggak ada yang ngerjain lo lagi di sana. Lo nggak nyesel kan dengan keputusan lo meninggalkan jambi untuk kuliah di jakarta?“
„Nggak. Insya Allah, nggak nyesel“ kata dia mantap setelah sekian detik terbisu. Lalu ia mengucapkan salam dan pergi.


NB:bila ada kata2 yg kurang enak di dengar dan kurang jelas mohon maaf y...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar